Wednesday 5 August 2009

Amerika di tepi jurang kehancuran

Amerika Serikat telah berubah statusnya dari lintah darat terbesar di dunia menjadi korban lintah darat terbesar di dunia sejak pertengahan tahun 1986 – dimulai pada masa pemerintahan Presiden Ronald Reagen. Perubahan status ini bermula dari pengeluaran anggaran yang luar biasa besar bagi pembiayaan Proyek Perang Bintang (Strategic Defense Initiative) dan Kampanye Penghancuran Uni Soviet. Uni Soviet memang akhirnya hancur, akan tetapi dengan ongkos yang membuat Amerika sendiri menjadi limbung dan menuju status sekarat! Utang total pemerintah Amerika bertambah praktis secara eksponensial, dan per Agustus 2009 utang tersebut telah melewati US$ 11,1 trilyun (ikuti terus statusnya pada situs “US National Debt Clock”) dan terus bertambah dengan besarnya bunga yang harus dibayar setiap tahun melewati angka US$ 300 milyar yang nilainya semakin bertambah pula seiring dengan semakin meningkatnya utang pokok dan suku bunga pinjaman.

Dari utang sebesar itu, sekitar 23% di antaranya merupakan utang kepada investor-investor asing melalui pembelian obligasi/surat-surat utang yang dikeluarkan oleh pemerintah Amerika. Berdasarkan data yang dikeluarkan Dep. Keuangan Amerika per Januari 2005 (kami tidak mampu memperoleh up dated data untuk 2007 red), para investor asing khususnya yang merupakan pembeli surat utang pemerintah Amerika adalah (berdasarkan urutan pembeli yang terbanyak, dalam milyar dollar Amerika): Jepang (701,6), Cina (194,5), Inggris (163), perbankan negara-negara Karibia (92,5), Korea (67,7), negara-negara OPEC (64,7), Taiwan (59,2), Jerman (57,1), Hong Kong (52,9), Swis (50), Kanada (43,4), Meksiko (41,1), Luksemburg (29,3), Singapura (27,6), Irlandia (21), Belgia (16,5), Israel (16), Thailand (15,8), Italia (14,9), India (13,9), Turki (12,8), Spanyol (12,2), Brazil (12,2), Swedia (11,6), Australia (9,7), Perancis (9,2), Belanda (8,7), lain-lain (141,3), sehingga totalnya adalah US$ 1960,3 milyar. Dengan kata lain, masa depan Amerika telah tergadai pada negara-negara asing (persis seperti Indonesia!).

Kemudian perhatikanlah fakta berikut ini: “Satu orang Amerika menggunakan energi komersil yang sama banyaknya dengan dua orang Jerman atau Australia, tiga orang Swiss atau Jepang, enam orang Yugoslavia, sembilan orang Meksiko atau Kuba, 16 orang Cina, 19 orang Malaysia, 53 orang India atau Indonesia, 109 orang Srilanka, 438 orang Mali, atau 1072 orang Nepal.”14 Konsumsi energi orang Amerika adalah 53 kali konsumsi energi orang Indonesia. Agaknya ia mempunyai korelasi dengan jumlah utang pemerintahnya (beban utang pemerintah Amerika setara dengan 54 kali utang pemerintah Indonesia). Dengan kata lain, seandainya bangsa Amerika dan kaum Kapitalis lainnya (termasuk Indonesia) menerapkan prinsip hidup qona’ah dan menjauhi sifat tamak, mubazir, dan riba, tentulah mereka tidak akan terjerumus ke dalam jebakan yang muncul dari gaya hidup berdasarkan agama yang batil itu. Dalam ungkapan John Perkins,

“Mereka telah membawa kita ke suatu titik di mana budaya global kita merupakan sebuah mesin raksasa yang memerlukan bahan bakar dan perawatan yang meningkat secara eksponensial, demikian banyaknya sehingga pada akhirnya budaya global kita akan mengkonsumsi semua yang terlihat dan tidak akan meninggalkan pilihan apa pun selain menelan dirinya sendiri.”[1]

Kini kita dapat mengatakan dengan pasti, bahwa Kapitalisme benar-benar di ambang kehancuran. Di hari-hari mendatang kita akan semakin melihat kebenaran dari segenap kata-kata yang keluar dari mulut seorang nabi suci, Muhammad Saw.

Hal yang membuat Amerika terus menerus berada dalam keadaan kritis adalah defisit kronis yang terjadi pada neraca perdagangan dan neraca transaksi berjalannya sehingga harus selalu ditambal dengan penjualan surat-surat utang/obligasi. Keadaan yang menakutkan ini telah membuat sebagian dari investor/orang-orang terkaya Amerika sendiri seperti Warren Buffett dan Bill Gates mulai memindahkan kekayaan mereka ke selain mata uang dollar Amerika! Kondisi Amerika saat ini sangat mirip dengan kondisi Indonesia yang telah terperangkap ke dalam jebakan utang, namun pada Amerika dengan skala kegilaan yang jauh lebih mengerikan.

Sebagai ilustrasi nyata akan kritisnya situasi keuangan pemerintah Amerika adalah kisah yang terjadi pada penjualan rutin surat utang Departemen Keuangan Amerika pada 9 September 2004. Mungkin karena secara psikologis terpengaruh oleh penetapan tanggal lelang surat-surat utang yang mendekati tanggal tragedi 11 September, dan merasa tidak aman, orang-orang asing yang biasanya membeli surat utang tersebut tidak muncul! Kepanikan serta merta menyergap para pejabat keuangan Amerika. Untungnya pada pelelangan surat utang periode berikutnya orang-orang asing itu muncul kembali untuk membeli.[2]

Para pakar dan orang-orang awam di Amerika mulai dicekam histeria, kehancuran macam apakah yang akan menimpa negeri mereka jika para investor asing berhenti membeli surat utang Amerika atau bahkan menarik uang mereka keluar dari negeri tersebut karena pesimis akan masa depan ekonomi Amerika atau sebab-sebab lain yang bersifat politis?

Bayangkan saja, hampir dua puluh tahun yang lalu, menyikapi perubahan status Amerika dari lintah darat menjadi korban lintah darat akibat kebijakan pemerintahan Reagen. Peter F. Drucker, seorang pionir dan pakar manajemen Amerika yang paling terkemuka (ia meninggal pada 11 November 2005 dalam usia 95 tahun) telah menjelaskan resiko yang dihadapi bangsa Amerika,

“Defisit tahunan akan terus meningkatkan jumlah utang pemerintah Amerika. Ditambah dengan bunga yang harus dibayar oleh anggaran pemerintah, defisit ini selanjutnya akan terus meningkat. Cepat atau lambat, hal ini akhirnya akan memengaruhi tingkat kepercayaan orang-orang asing terhadap Amerika dan dollar Amerika: sebagian pejabat pemerintah memperkirakan hal ini praktis akan terjadi tidak akan lama lagi. Kemudian orang-orang asing akan berhenti memberikan pinjaman kepada pemerintah Amerika. Bahkan, mereka mencoba memindahkan dollar yang mereka miliki ke mata uang asing lainnya. Hasil dari ‘lari dari dollar’ akan membuat nilai tukar dollar jatuh. Ia juga menciptakan kemacetan kredit yang ekstrim, kalau bukan suatu ‘krisis likuiditas (ketersediaan keuangan),’ di Amerika. Pertanyaannya adalah apakah hasilnya akan berupa depresi yang bersifat deflasioner di Amerika, merebaknya inflasi baru yang sangat parah, atau, penyakit yang paling menakutkan berupa stagflasi, yaitu, kombinasi antara ekonomi yang mengkerut, dan mata uang yang mengalami inflasi…”[3]

Pada tahun 1991, Kenichi Ohmae, seorang pakar manajemen asal Jepang yang paling terkemuka telah mengatakan,

“Dengan begitu banyak dollar di tangan negara lain, apakah Amerika Serikat rentan seandainya keadaan mendorong para investor ini untuk melepaskan dollar mereka? Jika ekonomi Amerika benar-benar menjadi buruk, semua uang tersebut akan terbang – uang Amerika juga. Ketika ekonomi berbasis minyak dari Houston mengalami penurunan tajam beberapa tahun yang lalu, bukan hanya orang asing yang menarik diri. Orang Amerika juga melakukan hal yang sama, dan juga sama cepatnya. Uang adalah uang. Uang adalah hal yang paling rasional. Modal asing berada di Amerika Serikat karena negara ini menarik bagi modal. Jika keadaannya tidak menarik lagi, modal akan bergegas pergi. Ya, itu akan menjadi masa yang buruk bagi Amerika Serikat…”[4]

Kemudian sejak tahun 2000 peringatan-peringatan itu semakin intensif, yang menunjukkan semakin kritisnya situasi Amerika. Pada 20 Desember 2000, Komisi Defisit Perdagangan Amerika menyatakan, “Defisit perdagangan ini bukan hanya tidak mungkin terus berkelanjutan, tetapi juga membawa bahaya yang sangat besar bagi negara dan standar kehidupan warganya.”[5] Prof. Dr. Lester Thurow dari Institut Teknologi Massachusset mengatakan, “Tak ada satu negara pun dapat menanggung defisit perdagangan yang besar selamanya.”[6]

Pada 30 April 2001, Dr. Lawrence Lindsey, seorang Penasehat Ekonomi Gedung Putih mengatakan, “Kita berada pada wilayah yang tak berambu-rambu – tidak ada pendahulunya – tidak dapat diteruskan – sesuatu harus dikorbankan.”[7]

Pada Juli 2001 Paul Volcker, mantan Gubernur Bank Sentral Amerika, mengatakan pada dengar pendapat di Komite Perbankan Senat perihal resiko dari meningkatnya defisit neraca pembayaran, “Kita adalah negara pengutang dengan tabungan nol, dan menyerap tabungan negara lain dalam jumlah yang sangat besar. Defisit perdagangan yang besar dan terus bertambah ini merupakan petanda ketidakseimbangan dalam perekonomian nasional dan ekonomi dunia yang tidak dapat berlanjut.”[8]

Pada 24 Agustus 2004 Robert B. Gordon, Sc.D., satu dari sedikit ekonom senior Amerika yang memahami “Prinsip Gelombang Elliot,” sebuah teori yang dapat menerangkan fenomena psikologi para pialang di pasar saham, mengatakan, “Jadi, nampaknya dari keadaan pasar (saham) saat ini yang sedang melemah, ekonomi Amerika dan Eropa secara perlahan-lahan akan tergelincir kepada apa yang akhirnya akan dikenal sebagai Depresi Besar 2.”[9]

Alan Greenspan, Gubernur Bank Sentral Amerika, mengatakan, “Kita tidak dapat bergantung kepada modal asing, yaitu, defisit transaksi berjalan, untuk mengimbangi tingkat tabungan domestik yang rendah selamanya.”[10]

Pada 3 Oktober 2004, Lawrence Summers, mantan Menteri Keuangan pada Pemerintahan Presiden Clinton, kini Rektor Universitas Harvard, dalam kuliah umum di universitas tersebut mengatakan bahwa defisit neraca transaksi berjalan Amerika dapat menghentikan perekonomian global secara mendadak. Resiko tersebut semakin bertambah besar dengan semakin tidak seimbangnya perekonomian Amerika (semakin membengkaknya defisit perdagangan).[11]

Pada 22 November 2004, Paul Krugman, ekonom kondang di Universitas Columbia, telah mengatakan bahwa kehancuran ekonomi Amerika hanyalah soal waktu saja, seraya menjuluki Amerika sebagai “Republik Pisang,”[12] sebagai sindiran kepada negerinya yang kini telah anjlok martabatnya. Sebagaimana diketahui, julukan ini pada mulanya diberikan kepada negara-negara Amerika Latin yang mengandalkan pendapatannya dari mengekspor buah pisang serta produk-produk yang sangat jauh dari sentuhan teknologi canggih.

Pada bukunya “Runtuhnya Kapitalisme” (terjemahan) yang terbit pada 2005, Harry Shutt menulis, “…adanya kesepakatan pendapat secara umum bahwa ada berbagai kesamaan antara krisis keuangan yang terjadi di tahun 1929 setelah pasar modal Wall Street runtuh, dengan krisis yang terjadi pada saat ini.”[13]

Pada 23 Januari 2005, Jas Jain, salah seorang analis ekonomi terkemuka telah menulis, “Depresi yang lebih Besar (Greater Depression) adalah tak terhindarkan. Semakin tinggi kita mendaki tangga utang, semakin dalam ekonomi Amerika akan jatuh selama Depresi yang lebih Besar yang akan datang. [14]

Pada Maret 2005, Stephen Roach, seorang kepala ahli ekonomi pada lembaga keuangan Morgan Stanley di Boston mengatakan, bahwa ia percaya peluangnya adalah 90% (yang menunjukkan sudah sangat dekat kepada kepastian!) bahwa utang yang gila-gilaan ini pada akhirnya akan membawa pada kehancuran ekonomi![15]

Pada Juni 2005, Paul Volcker, mantan Gubernur Bank Sentral Amerika, kembali mengingatkan bahwa ia tidak melihat bagaimana Amerika akan terus berutang dan mengkonsumsi sementara membiarkan negara-negara lain yang melakukan proses produksi. Ia berkata, “Ini adalah sebuah resep untuk kekacauan ekonomi Amerika – sangat mungkin terjadinya krisis.”[16]

Pada 24 September 2005, Alan Greenspan, Gubernur Bank Sentral Amerika, mengungkapkan kepada sejawatnya Thierry Breton, Menteri Keuangan Perancis, bahwa Amerika Serikat telah kehilangan kendali atas defisit anggarannya. Selanjutnya Breton berkata, “Situasi yang menciptakan tekanan saat ini pada pasar uang adalah jelas defisit Amerika.” Ia juga mengungkapkan, “Nampak bagi saya bahwa sejawat saya John Snow (Menteri Keuangan Amerika, red) sepenuhnya sadar akan hal ini, ia ingin mengatasi masalah ini, tetapi nampaknya ia tidak memunyai ruang yang cukup untuk bermanuver.”[17]

Kutipan-kutipan di atas berasal dari tokoh-tokoh yang kredibilitasnya sudah sangat dikenal oleh publik Amerika dan dunia pada umumnya, sehingga kami anggap telah mewakili pandangan para pakar yang kompeten di bidang ini. Kami tidak memasukkan analisis dari individu-individu lainnya yang serupa nadanya, dan jumlahnya sangat banyak.

Dikutip dari Buku : Menanti kehancuran Amerika dan Eropa

Karangan : Abu Fatiah Al Adnani dan Kelompok Telaah Kitab Ar-Risalah


[1]. John Perkins, Confessions of an Economic Hit Man, Abdi Tandur, 2005, hal.xii.

[2]. Pada situs internet International Perspective, oleh Marshall Auerback, dalam artikel “Lawarence Summers Comes Clean On The US Current Account,” 16 November 2004.

[3]. Peter Drucker, The Frontiers of Management, Heinemann Professional Publishing Ltd., London, 1986, hal. 40.

[4]. Kenichi Ohmae, Dunia Tanpa Batas, Kenichi Ohmae, Binarupa Aksara, Jakarta, 1991, hal. 181-182.

[5]. Pada situs internet America’s Debt Report.

[6]. Ibid.

[7]. Ibid.

[8]. Ibid.

[9]. Pada situs Financial Sense Online edisi 24 Agustus 2004, Robert B. Gordon, Sc. D. ; Two Great Depressions – One Lifetime

[10]. Pada situs internet America’s Debt Report.

[11]. Pada situs International Perspective.

[12]. Pada situs Reuter, edisi 22 November 2004, Pedro Nicolaci da Costa, Krugman: Economic Crisis a Question of When, Not if.

[13]. Harry Shutt, Runtuhnya Kapitalisme, Teraju, Cet. I, Agustus 2005, hal. xv.

[14]. Pada situs FinancialSense Online, 23 Januari 2005, Jas Jain, US: DEBT HISTORY & SECULAR GDP.

[15]. Pada situs Macleans CA edisi 2 Maret 2005.

[16]. Pada situs America’s Debt Report.

[17]. Pada situs CNN Money edisi 24 September 2005.